Isnin, 12 Oktober 2009

POLITIK ULAMA

Kini sering muncul pro-kontra terhadap eksistensi ulama berpolitik. Sebenarnya bila merujuk sejarah awal Islam, tidak ditemukan adanya pemisahan antara social religius dengan social politik. Justru keduanya berkorelasi dan saling melengkapi mengawal umat agar meraih kehidupan lebih baik dan bermartabat. Dalam piagam Madinah, misalnya, Rasulullah saw merupakan pemimpin tertinggi dalam masalah politik, yaitu sebagai pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Walaupun pada masa itu orang belum mengenal istilah pembagian tugas atau kekuasaan.

Ulama yang disebut sebagai pewaris dari Nabi, perannya juga tidak sebatas mendidik umat (santrinya) Dan di Aceh tercatat, ulama tidak hanya mengurusi soal-soal agama, tapi terjung ke bidang politik. Sebab dalam ajaran Islam tidak ada pemisahan antara masalah agama dan politik. Kita banyak menemukan kitab-kitab ilmu siyasah (ilmu politik) sebagai panduan politik Islam yang ditulis oleh ulama-ulama klasik, dan sekarang masih dipelajari santri did ayah-dayah. Dari dayah banyak melahirkan ulama, pemikir dan politikus sebelum adanya pemikir barat. Sebutlah Imam Al Ghazali, Al Mawardi, dan Al Haramain, Ibn Abi Rabi’ dan yang telah banyak menulis kitab-kitab ilmu siyasah.

Al Ghazali misalnya berpendapat, agama dan politik, dunia dan akhirat berkait erat. Karena menurutnya tujuan manusia dalam bermasyarakat bukan untuk memenuhi kebutuhan dan mencari kebahagiaan materil semata, melainkan mempersiapkan kehidupan yang lebih sejahtera dan abadi di akhirat. Dunia untuk agama dan agama untuk mengatur dunia (Dr. Suyuti Pulungan MA, 1993). Al Ghazali merumuskan bahwa agama adalah fundamen (ashlu) dan kekuatan politik adalah penjaganya. Untuk menjaga agama dari kehancuran maka dubutuhkan suatu kekuatan politik, kekuatan politik takkan mampu menjaga agama kalau tidak diisi oleh orang-orang yang memahami agama.

Kemunduran umat Islam saat ini, di antaranya tersebab tidak memiliki kader atau figur politisi yang konsekuen membawa misi Islam.Musuh-musuh Islam dari Eropa (barat) setiap saat melakukan ‘pencucian otak’ bagi umat Islam melalui berbagai media dan universitas yang ‘berkiblat’ kepada barat. Mereka mengembangkan paham sekularisasi dalam bidang politik, kader-kader Islam yang mampu berpolitik untuk kepentingan Islam tidak boleh terlibat dalam kancah politik praktis.

Fobia dari musuh-musuh Islam begitu besar. Mereka begitu khawatir jika pemerintahan atau parlemen di bawah kepemimpinan atau pengawasan ulama. Maka mereka mengelabui cara berpikir umat Islam, politik hanya boleh dilakukan oleh kader-kader yang berlatar belakang pendidikan umum (padahal mereka tidak memahami ajaran Islam seutuhnya), sementara kader-kader yang berlatar pendidikan agama (lulusan dayah) dianggap tidak mampu. Tengku hanya mampu menjadi Imam shalat, menjazhij mayit, memimpin doa. Tugas ulama atau tengku adalah mengajar santri di Dayah atau balai pengajian, karena bila Tengku (kader-kader dari dayah) berpolitik dikhawatirkan tidak ada lagi yang mendidik santri.

Kekhawatiran sepertiitu oleh sebagian masyarakat atau praktisi politik memang sah-sah saja karena kepedulian mereka terhadap kesuksesan pendidikan santri di Pesantren, tetapi kalau kekhawatiran meraka sampai mengharamkan politik bagi Tengku Dayah atau Ulama muda yang merupakan jebolan dari Dayah dengan alasan akan terhambatnya pendidikan bagi santrinya, sehingga mencaci ulama, menghujat tengku-tengku dayah. Bahkan mendengar langsung dari seorang pengurus partai tertentu setingkat kabupaten yang menghalalkan darah ulama yang terlibat dalam politik.

Ada beberapa yang melatari pemikiran itu. Pertama, hanya persaingan politik yang semakin tidak sehat, bisa saja ulama dianggap sebagai lawan politiknya sehingga mengembangkan jargon usang terhadap rakyat dengan melakukan propaganda. Ini suatu praktik politik yang tidak dewasa akan mengakibatkan terjadinya kekacauan dan perpecahan ummat. Dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang merasa dengki dengan perdamaian Aceh dan kembali menggiring dalam suasana konflik. Oleh karena itu, biarkan ada perbedaan pilihan partai dan aspirasi politik, tetapi jangan sampai memutuskan hubungan silaturrahmi dan persatuan umat.

Kedua, mungkin juga argument melarang ulama terlibat dalam politik sudah disusup oleh kalangan orientalis dalam mengembangkan paham sekuler di negara yang manyoritas penduduknya umat Islam. Mungkin dulu ada ulama Aceh yang mengharamkan berpolitik bagi Tengku-tengku Dayah, bisa saja untuk menghambat agar muridnya tidak disibukkan dengan politik, karena keinginan mereka untuk mencetak kader ulama lebih banyak, tetapi sekarang ada ratusan ribu santri dayah di Aceh. Maka tidak cuma dimaanfatkan sebagai petua menasah, imam shalat dikampung-kampung, khatib mesjid.

Kita mesti dapat melakukan perubahan dan pembaharuan lebih baik. Bagaimana upaya me kontruksi (format) politik yang bersih, maupun keinginan untuk membumikan penerapan syari’at Islam demi menggapai kehidupan yang makmur dan bermartabat yang belakangan ini semakin nampak dikesampingkan oleh pemerintah Aceh. Dengan sikap dan pandangan demikian, tentunya keinginan dan harapan akan perubahan dengan pola pikir semacam itu tidak seharusnya disikapi oleh berbagai pihak dengan kecurigaan, kebencian, kesalahan dalam menginterpretasi serta sikap tertutup yang protektif.

Keinginan Ulama Aceh saat ini untuk kembali tampil dalam kancah politik dengan menyatukan ulama-ulama Dayah adalah upaya untuk mewarnai politik dan parlemen Aceh dari berbagai kalangan yang nantinya diharapkan mampu menampung aspirasi semua lapisan masyarakat. Para tengku dari Dayah dapat menjadi satu kekuatan umat yang sangat determinan, diharapkan peran strategisnya. dalam membina dan memimpin umat, juga sebagai ‘obat penyembuh’ dari segala penyakit pemerintah dan rakyat. Dan sebenarnya,k eterlibatan dan intervensi Ulama Dayah Aceh dalam politik, baik secara langsung maupun tidak langsung bukan akan menciptakan perpecahan umat jika semua dilakukan dengan ikhlas.

* Penulis adalah santri Dayah Mudi Mesra, mahasiswa STAI - Al Aziziyah Samalanga

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

jom mengaji

Listen to Quran
Related Posts with Thumbnails